Sandarkan Urusan mu hanya Kepada Allah Semata.
﷽
Yang bersandar pada sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan terguling, akan terjatuh.
Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil.
Begitulah permisalan orang-orang yang panik dalam kehidupan ini ketika dia bersandar kepada kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada penghasilannya, bersandar kepada kekuatan fisiknya, bersandar kepada depositonya, atau sandaran-sandaran yang lainnya.
Padahal, semua yang kita sandari sangat mudah bagi Allah, atau akan ‘sangat mudah sekali’ bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari.
Oleh karena itu, jangan bersandar kepada gaji atau pula bersandar kepada tabungan.
Punya tabungan uang, mudah bagi Allah untuk mengambilnya.
Cukup saja dibuat urusan kita sulit sehingga kita harus mengganti dan lebih besar dari tabungan kita.
Punya otak cerdas, tidak layak membuat kita bergantung pada otak kita.
Cukup dengan kepleset menginjak kulit pisang kemudian terjatuh dengan kepala bagian belakang membentur tembok, bisa geger otak, koma, bahkan mati.
Semakin kita bergantung pada sesuatu, semakin diperbudak.
Oleh karena itu, para istri jangan terlalu bergantung pada suami.
Karena suami bukanlah pemberi rizki, suami hanya salah satu jalan rizki dari Allah, suami setiap saat bisa tidak berdaya.
Suami pergi ke kantor, maka hendaknya istri menitipkannya kepada Allah dengan di back up oleh doa sang istri
Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh menyandarkan dirinya hanya kepada Allah.
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS. At Thalaq [65] : 3).
Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak, tanpa ada lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah, maka bakal dicukupi segala kebutuhannya.
Allah Maha Pencemburu pada hambaNya yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada benda-benda mati.
Mana mungkin?
Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan Allah.
Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi selain hanya Allah saja.
✍BERTAUHID Dengan Bersandar Kepada Allah
Sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah kita menggantungkan diri, kita menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak kepada yang lain, itulah TAUHID.
Tiada keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini, kecuali orang yang tidak memiliki “sandaran”, selain bersandar kepada Allah.
Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya, mutlak, tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah.
Total, sempurna,
Segala-galanya Allah yang membuat,
Allah yang mengurus,
Allah yang menguasai.
Oleh karena itu, harus bagi kita untuk terus menerus “menghilangkan” penggantungan kepada selain Allah
Karena ketika kita banyak bergantung kepada selain Allah, siap-siap saja makin banyak kecewa.
Sebab yang kita gantungi harusnya hanyalah Allah semata, katakanlah dan yakinlah bahwa,
“Laa Hawla wa Laa Quwwata illa Billah”
(Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah)
Kalimat “laa hawla wa laa quwwata illa billah” adalah kalimat yang berisi penyerahan diri dalam segala urusan kepada Allah Ta’ala
Seorang hamba tidaklah bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa menolak sesuatu, juga tidak bisa memiliki sesuatu selain kehendak Allah.
Ada ulama yang menafsirkan kalimat tersebut,
“Tidak ada usaha, kekuatan dan upaya selain dengan kehendak Allah.”
Dalam penjelasan Safinah An-Najah, Imam Nawawi Al-Bantani rahimahullah menyebutkan arti kalimat tersebut,
“Tidak ada yang menghalangi dari maksiat pada Allah melainkan dengan pertolongan Allah. Tidak ada pula kekuatan untuk melakukan ketaatan pada Allah selain dengan pertolongan Allah.”
(Lihat Kasyifah As-Saja Syarh Safinah An-Najaa, hlm. 33)
Imam Nawawi menyebutkan berbagai tafsiran di atas dalam Syarh Shahih Muslim dan beliau katakan, “Semua tafsiran tersebut hampir sama maknanya.”
(Syarh Shahih Muslim, 17: 26-27)
Komentar
Posting Komentar